MASKAWIN (
SHADAQ )
Kebanyakan orang di indonesia pri bumi Cincin Kawin di sebutkan dalam akat nikah untuk mahar / maskawin . baca artikel ini untuk pengertian maskawin dan dasar hukumya dalam islam .
A. PENGERTIAN MASKAWIN
Maskawin adalah sesuatu (harta benda atau
suatu kemanfaatan) yang menjadi kewajiban seseorang lelaki untuk diberikan
kepada orang wanita, sebab ikatan tali nikah, wathi’ syubhat dan meninggal.
B. LANDASAN HUKUM
Landasan-landasan hukum yang menjadi pijakan dari maskawin ini
adalah sebagai berikut :
نِحْلَةًقَاتِهِنَّ صَدُالنِّسَاءَوَآَتُوا
Berikanlah
maskawin ( mahar ) kpada wanita (yang kamu nikahi)
Sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan (QS.
An-Nisa’ [4] : 4)
فِ بِالْمَعْرُو
أُجُورَهُنَّ وَآَتُوهُنَّ
Dan
berilanlah maskawin mereka menurut yang patut.(QS > An-Nisa’ [4]: 25)
Rasullah
* bersabda kepada orang yang hendak menikah (dan tidak memiliki maskawin),
“Berilah ia maskawin walau terdiri dari cincin besi. “ (HR. bukhari).
Dari ayat dan hadist di atas , kita dapat
memperhatikan bahwa ada beraam istilah yang di gunakan oleh sayara’ untuk
mengungkapkan maskawin (shadaq), diantaranya adalah nihlah dan “atiyah.
Shadaq di sebut nihlah dan ‘Atiyah,
padahal secara lahiriah, ia merupan imbalan atas pemanfa’atan suami terhadap
‘kepunyaan’ sang istri, sebab realitanya keduanya memang sama-sama meresahkan
lazatnya bersetubuh. Bahakan , kenikmatan yang di dapat sang istri lebih banyak
dari pada yang di peroleh suami, sebab birahi kaum wanita lebih kuat di banding
kaum pria.
Dari itu maka tidak heran jika ada yang
berpendapat, bahya wanita dapat merasakan tiga kenikmatan sekaligus saat
melakukan hubungan badan dangan lelaki, sedangkan lelaki dapat merasakan dua
kenikmatan saja. Tiga kenikmatan yang dirasakan wanita adalah keluar masuknya
Zakar dalam kemaluannya, kelaur sepermanya sendiri, masuknya seperma sang suami
kedalan rahimnya. Sedangkan sang lelaki hanya dapat merasakan dua kenikamatan ;
yaitu keluar masuknya zakar dan keluarya sepermanya sendiri.
Jadi, sebenarnya kewajiban membayar
maskawin bukan sebagai imbalan atas kenikmatan yang di dapatkan suami, sebab
yang dapat kenikmatan lebih banyak justru si istri. Akan tetapi pemberian maskawin
merupakn kemuliaan dan pemberian dari ALLAH * Terhadap wanita, melalui pria
yang telah menjadi suaminya. Hal demikaian dengan tujuan agar terlahir rasa
saling cinta dan sayang karenanya.
C. MEMBAYAR MASKAWIN
Pada
dasarnya , yang berkuwajiban membayar maskawin adalah suami (yang di berikan
kepada istri). Namun dalam perkembangan selanjutnnya, ada juga yang kemudian
kewajiban membayar maskawin itu menjadu tanggung jawab (kewajiban ) istri
(untuk di berikan kepada suaminya), sebagai akan kami jelaskan nanti.
Dalam
praktiknya, seorang suami di sunatkan tidak melakukan hubungan seksual dengan
istri seelum memberikan maskawinnya. Namun ada juga yang bependapat, bahwa
menyerahkan maskawin sebelum melakukan hubunga intim adalah wajib.
Sementara
itu, mengenai nilai nominal yang harus di bayarkan, sebetulnya syara’ tidak
menentukan batas minimal dan maksimalnya, bahkan setiap sesuatu yang bisa di
jadikan tsaman juga bisa di jadikan mahar. Adapun kesunatannya, bia mengikuti
pendapat yang paling ringan, Berarti minimal maskawin adalah 25,2 gr perak,
merupakan hasil perkalian sepuluh[10] dengan dua koma liama puluh dua (2,52).
Sedangkan maksimalya adalah 1.160.gr, sama dengan 1,160 kg. Jika di krus dengan
uang. Misalnya satu gram Perak bernilai Rp 3.000, berarti minimalnya maskawin
sama dengan Rp 75.600, sedangkan maksimalnya adalah 3.480.000.
Namun
demikian, sunat bagi wanita untuk tidak meminta maskawin yang mahal. Sebab
wanita yang murah maskawinnya adalah wanita yang banyak berkahnya. Sayidina
Umar * pernah menegaskan “ Janganlah kalian mempermahal maskawin kalian.”
D.
PENYEBUTAN
DALAM AKAD
Pada
dasarnya, penyebut maskawin dalam akad nikah adalah sunnat. Sebab Rasul *
selalu menyebut setiap kali beliau menikah dan pada saat menikahkan semua
putrinya. Di samping itu juga di nyatakan bahwa penyebutan itu di maksutkan
untuk meminimlisir terjadinya sengketa antara antar suami dan istri. Ditinjau
dari sudut pandang lain, hukum menyebut maskawin dalam akad ada yang wajib dan
ada yang pula yang haram.
Maskawin
wajib di sebutkan dalam akad nikah dalam tiga permasalahan: Pertama , Calon
istri belum mendapat legalitas syara’ untuk menggunakan hartanya sendiri
(mahjur ‘alih), baik di sebabkan masih bocah, gila, dungu, atau lainnya. Dan
sebelum akad, sudah ada kesepakatan bersama suami bahwa yang akan di berikan
adalah maskawin diatas standar umum yang berlaku (mahar al-misl). Jika dalam
akad tidak menyebutkan mas kakwin, maka yang menjadi kewajiban suami adalah
maskawin standar umum (mahar al-misl). Hal ini tentu merugikan terhadap calon
istri. Maka dalam akad nikah, Wali nikah harus (baca: wajib) menyebutkan
maskawin yang sudah di sepakati.
Kedua,
wanita calon istri sudah mendapat legalitas syara’ untuk menggunakan hartanya
sendiri (bukan mahjur ‘alaih), dan telah memberi izin kepada walinya serta
menyerahkan urusan mahar kepada wali, dan telah menjadi kesepakatan antara
suami dan wali membayar mahar di atas mahr al-mitsl. Jika demikian, maka wali
wajib menyebutkanmaskawin yang suda di sepakati itu di dalam akad. Sebab jika
tidak disebut, maka yang menjadi kewajiban suami adalah mahar al-misl.
Ketiga
, suami belum mendapat izin dari syara’ untuk menggunakan hartanya sendiri
(mahjur ‘alih) Dan sebelum akad nikah , sudah ada kesepakatan, bahwa maskawin
yang akan di berikan adalah di bawah standar umum (mahr al-misl). Kalau tidak
di sebutkan dalam akad nikah, maka suami wajib membayar mahr al-misl, dan hal
ini tentunya memberatkan pada suami.
E.
KLASIFIKASI
MASKAWIN
Ditinjau
dari aspek penyebutan dan tidaknya (pada waktu akad), maskawin terbagi menjadi
dua : mahr al-musamma da mahar al-mitsl.
Mahr
al-musamma adalah mahar atau maskawin yang di sebutkan dalam akad.
Maskawin tipe ini , tidak dapat di
gugurkansebab perceraian yang terjadi setelah suami melakukan hubungan badan
dengan sang istri.
Sedangkan
Mahr al-mitsl adalah maskawin yang tidak di sebutkan dalam akad. Atau di
sebutkan namun tidak memenuhi kriteria kreteria maskawin.
Rujukan
yang dapat di jadikan standar ukuran untuk menentukan mahr al-mitsl adalah
wanita dari kerabat sang istri. Kalau tidak ada, maka dicarikan wanita setempat
yang sama dalam kecantikan atau sifat lainnya.
Secara
global, hal-hal yang dapat mewajibkan membayar mahr al-mitsl ada 4 : 1) nikah ,
2) wathi’ , 3) mencabut penyaksian, dan 4) menyusui. Rincian dari empat faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
NIKAH
Nikah
mwajibkan mahar al-mitsl dalam beberapa permasalahan :
·
Dalam
masalah mufawwidhah, seteleh melakukan hubungan badan dengan istri atau salah
satu dari suami-istri, atau belum melakukan hubungan badan, salah satu dari
suami-istri meninggal sebelum menetapkan beberapa maskawin yang harus di
berikan.
·
Mahar
yang di sebut dalam akad, ternyata fasid ( tidak sesuai dengan ketentuan mahar
menurut pandangan fikih), semisal sebab merupan barang haram, hasil ghasab,
tidak di ketahui perkiraannya, atau merupan benda yang sudah di tentukan
(mu’ayyan/sudah nampak mata oleh suami-istri) dan rusak sebelum diserahkan
kepada sang istri.
·
Sebab
ada khiyar (boleh pilih tentang beberapa ketetapan maskawinya)
·
Menjanjikan
maskawin sebuah benda yang di ukur dengan sifat, dan ternyata ketika di berikan
tidak sesuai dengan yang di janjikan.
WATHI’
Wathi’ menjadi penyebab
wajibnya membayar mahr al-mitsl apabila wathi’-nya bersetatus syubhat (ketika
wathi’ tidak ada kejelasannya apakah ada hubungan suami istri atau tidak)
seperti menduga istri atau suami sendiri, lalu di setubuhi, dan ternyata ia adalah
orang lain.
Syubhat terbagi menjadi dua macam :
Pertama, dari
;pelaku . maksutnya , wanita atau pria yang sedang melakukan hubungan badan,
tidak mengetahui kalau sebenarnya di antara kedua tidak ada ikatan tali nikah
yang memperbolehkan melakukan hubungan badan ( yang laki mengira wanita itu
istrinya dan yang wanita mengira itu suaminya, dan ternyata dugaannya keliru).
Kedua, serupa
dari aspek pendapat imam, seperti melakukan hubungan badan dengan wanita yang
sudah dinikahinnya. Tanpa menggukan waali dan saksi. Praktik ini di benarkan
oleh salah satu imam madzab (Dawud adz-Dzahiri). Kalau mengikuti pendapatnya,
maka melakukan hubungan badan dengan istri tidak dihukumi halal dan tidak
haram.
MENCABUT PENYAKSIAN TALAK
Mencabut persaksian talak dapat menyebabkan
wajibnya membayar mahr al-mitsl dalam kasus berikut : ada dua orang bersaksi di
hadapan hakim, bahwa telah terjadi perceraian antar suami istri (Ramli Dan
Ramlah). Berdasarkan keterangan tersebut, hakim memutuskan ikatan pernikahan
antara Ramli dan Ramlah. Setelah di cerai atas vonis hakim. Ternyata dua orang saksi tersebut mencabut
kembali kesaksiannya , maka kedua oarang
saksi tersebut wajib membayar mahr al-mitsl kepada pihak suami (Ramli), dengan
alasan bahwa mereka berdua telah menghalangi untuk mendapatkan hak-haknya atas
sang istri.
MENYUSUI (RADHA’)
Radha’ dapat menyebabkan wajibnya membayar
mahr al-mitsl dalam pemasalahn suami memiliki istri lebih dari satu, sedangkan
di antara istrinya ada yang sedang
menyusu (di bawah dua tahun) . kemudian istri yang sudah dewasa menyusui istri
yang masih banyi tersebut. Maka dengan demikian terjadi hubungan radho’ antara
suami, istri dewasa dan istri bayi tersebut. Maka secara otomatis pernikahannya
rusak, dengan alasan ada hubungan radha’ tersebut. Berarti suami tidak bisa mendapatkan
hak-haknya dari istri bayinya. Maka istri yang menyusui itu wajib memberikan
separuh mahr al-mitsl-nya kepada suaminya, Dan suami wajib memberi separuh
maskawin pada istri yang kecil. Sebab terjadi perceraian sebelum melakukan
hubugan badan.
F.
KLASIFIKASI
CALON ISTRI
Dilihat
dari aspek pemasrahan terhadap walinya atau tidak, wanita yang di nikahkan ada
yang di kenal dengan istilah mufawwidhah
dan bukan mufawwidhah. Istilah mufawwidhah terbagi menjadi dua ; pertama,
menyerahkan kepada wali atau orang lain agar menentukan beberapa maskawin yang
harus di berikan calom suami kepada wanita /calon istri. Kedua, wanita yang
akan di nikahkan bilang kepada walinya , agar di nikahkan tanpa meminta
maskawin dari calon suami.
Dalam
permasalahan yang kedua , suami tetap wajib memberikan maskawin denagan salah
satu dari tiga sebagai berikut :
·
Suami
sendiri telah menentukan beberapa maskawin yang akan di berikan kepada
istrinya,
·
Hakim
menetapkan ukuran maskawin standar umum (mahr al-mitsl) yang harus di berikan suami tehadap sang
istri, bila terjadi sengketa antara wali dari wanita dan suami.
·
Suami
wajib memberikan maskawin standar umum jika melakukan hubungan hubunagan badan
dengan istrinya sebelum memberikan ketetapanbeberapa maskawin yang akan di
berikan kepadanya, atau salah satu dari suami istri ada yang meninggal dunia
sebelumada ketetapn maskawin suami.
Dalam masalah mufawwidhah, suami yang
mencerai istrinya sebelum melakukan hubungan badan dengannya, berkewajiban
membayar separuh maskawin yang sudah ditetapkan sendiri atau oleh hakim. Jika
terjadinya perceraian sebelum ada ketetapan mahar, baik darinya atau dari
hakim, maka tidak berkewajiban membayar apapun, tetapi wajib memberi
mut’ah/konpensasi kepada istri yang di cerainya.
Istri mempunyai hak menolak jakan untuk
melakukan hubungan badan atau yang lain pada suami yang belum menetapkan
maskawin, atau sudah menetapkan maskawin kontan yang masih akan di berikan
(belum di laksanakan).
G. BAHAN MASKAWIN
Dalam
fikih terdapat kaidah umum mengenai apakah sesuatu yang dapat di jadikan
sebagai mas kawin? Kaidah ituadalah, bahwa setiap sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai tsaman (alat penukaran) dalam jual beli atau akat sewa, juga dapat di
jadikan sebagaimaskawin. Menurut pendapat imam az-Zarkasyi, pakaian milik calon
suami yang hanya mencakupi untuk menutup aurat, tidak boleh di jadikan
sebagaian maskawin. Bahkan suami yang memiliki pakaian yang hanya untuk
menutupi aurat tidak boleh di buat untuk membayar mas kawin, namun ia di
perbolehkan memberikan maskawin beruapa
kemanfaatan. Hal ini pernah terjadi pada zaman nabi, bahwa ketika salah
satu sahabat akan menikahh dan di tanya tentan maskawinnya, dia bilang hanya
punya pakaian yang melekat di badannya.
Akhirnya nabi bertanya, apakah dia
dapat mengajar al-Qur’an? Sahabat tersebut menjawab bisa. Lalau mengajar al-Qur’an itulah yang kemudian
dijadikan sebagai maskawin, sebab itu merupakan suatu kemanfaatan.
Menurut
imam Abu Ishaq asy-Syirazi dalam
al-Muhadzdzab, boleh memberikan maskawin berupa manfaat (jasa) kepada istrinya.
Seperti mengajarinya al-Qur’an, menjadi pelayan istri dalam jangka waktu
tertentu, atau jasa apa saja yang telah mendapat legalitas dari syariat.
Pendapat ini di dasarkan pada ayat al-Qur’an sebagai berikut,
Berkatalah
dia (Syuiaib) : “sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denaganku delapan
tahun”. (QS. AL-QASHASH [28]:27) .
Dalam ayat tersebut di jelaskan ,
bahwa mengembala di jadikan sebagai maskawin Nabi Musa , terhadap putri Nabi
Syu’aib.
Manfa’at,
dapat di jadikan maskawin dengan syarat-syarat berikut :
·
Ma’lum,
di ketahui oleh suami dan walinya istri,
·
Boleh
di sewa, seperti magajal al-Qur’an,
·
Suami
dapat melakukan sendiri, kalau di dalam akad memang di sayaratkan harus suami
yang melakukannya, atau menyewa orang lain, kalau tidak di syaratkan harus
suami yang melakukan.
Ketentuan – ketentuan lain dari maskawin
adalah tidak terdiri dari barang haram, seperti minuman keras , mengajar kitab
injil, Mengajarkan al-Qur’an kepada orang kafir yang tidak senang pada agama
islam dan lain sebagainnya, Demikian juga, Maskawin tidak boleh terdiri dari
sesuatu yang tidak ada, tidak di ketahui ,dan tidak dapat di serahkan.
H. BEBERAPA KONSEKWINSI
Perceraian
sebelum terjadinya hubungan seksual antara suami dan istri dapat mengurangi
separuh dari kewajiban maskawin yang harus di bayarkan. Sedangkan perceraian
yang di sebabkan istri dapat menggagalkan semua mas kawin
Kalau
terjadi perceraian antara suami istri setelah melakukan hubungan seksual, dan
sebelum memenuhi maskawin yang berupa pengajar al-Qur’an terhadap istri,
menurut pendapat yang pertama, suami harus mengajar melalui belakang satir, dan
menurut pendapat kedua, suami dilarang mengajarnya sekalipun di balik satir,
Sebab tidak menutup kemungkinan terjadinya fitnah. Sedangkan menurut qaul jadid
dari imam Syafi’i, suami harus membayar ujrat al-mitsl/upah standar untuk
menagajar.
Tunggu Artikel kami selanjutnya tentang pernikahan .
By cincin kawin
Belum ada tanggapan untuk "CINCIN KAWIN"
Post a Comment
Komentar yang tidak sesuai dengan isi blog ini, tidak akan kami tampilkan dan saya anggap spam.
Note: Only a member of this blog may post a comment.